CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Sabtu, 08 November 2008

LASKAR PELANGI: INI BARU FILM!!!


Untung saja tanggal 1 Nopember lalu saya punya sedikit waktu dan teman untuk menyaksikan film Laskar Pelangi (LP) di sebuah mal di Bandung yang berada di bilangan Jalan Merdeka. Kalau sampai film tersebut dicabut dari peredarannya di bioskop dan saya belum nonton, berarti saya tak akan tahu betapa besarnya pesan moral yang dibungkus dengan unsur edukatif yang ada di film garapan si jenius Riri Reza.

Duh, film itu membuat saya tertawa, haru dan sedih. Tertawa karena suasana perkampungan dan dialek serta bahasa yang ada di film tersebut hampir sama dengan keadaan kampung saya beberapa dasawarsa silam. Jadi kayak memutar rekaman video masa kecil, meski masa kecilku tak “sesengsara” Lintang dan kawan-kawan.

Jangan lupakan betapa briliannya akting para pemainnya. Memang, ada Tora Sudiro yang juga ambil bagian dalam film yang diangkat dari novel cerdas karangan Andrea Hirata, yang sangat diidolakan guru ngaji saya (Mbak Shanty namanya) ini. Tapi, toh akting si Tora kalah pamor oleh kesepuluh pemain cilik yang notabenenya masih awam. Kalau untuk Cut Mini, bolehlah diacungi jempol. Apalagi logat Belitongnya yang “masuk”. Khusus buat pemeran Lintang, Mahar dan Ikal (saya lupa nama asli mereka) harus diberi empat jempol sekaligus. Sumpah, akting mereka bikin saya campur rasa: lucu, geli, haru dan kagum.

Akhirnya ada juga film Indonesia yang edutainment. Selama ini bertebaran film-film tak penting seperti “Kutunggu Jandamu”, “Mupeng”, “Kawin Kontrak”, dan teman-teman seper-“hancur”an lainnya. LP menjadi oase yang menyejukkan di tengah-tengah gersangnya sinema Indonesia. Gersang karena dipenuhi film-film horror kelas C dan cerita cinta cengeng bin menjijikkan.

Mahar digambarkan sebagai anak yang punya cita rasa seni tinggi. Ia berhasil mengajak teman-temannya unjuk gigi di pertandingan karnaval antar sekolah. Mahar kerja mati-matian membuat karya yang unik nan mempesona dan diganjar penghargaan. Pantas saja anak-anak SD yang memadati ruang bioskop begitu histeris dengan tingkah pola Mahar dan teman-temannya. Wong sama dengan keseharian mereka. Lain lagi dengan Lintang yang sangat cerdas. Saat lomba cepat tepat ia membawa timnya menang berkat kepandaiannya berhitung tanpa corat-coret terlebih dahulu di kertas. Padahal Sekolah Muhammadiyah tempat dia menimbah ilmu sangat sangat miskin. Di saat teman-teman mereka di SD sebelah menggunakan kalkulator saat pelajaran berhitung, Lintang cs malah menggunakan kumpulan lidi, versi jadulnya sempoa. “Anak-anak dibesarkan oleh alam, bukan oleh fasilitas sekolah”, begitulah kira-kira ucapan kepala sekolah mereka suatu kali pada Bu Muslimah (diperankan dengan apik dan mengagumkan oleh Cut Mini).

Ikal, lain lagi. Adegan “kasmaran” dan cinta monyetnya dengan anak Cina benar-benar lucu. Memang ada saat-saatnya genit bagi anak SD seumuran mereka. Secara keseluruhan adegan demi adegan LP semuanya mengandung pesan moral tinggi. Lintang dan teman-temannya digambarkan sangat cerdas dan rajin meski hidup dalam kemiskinan. Semangat Bu Muslimah dalam memberikan ilmu pada murid-muridya harus diberi perhatian. Setidaknya oleh pemegang kebijakan yang bertanggung jawab terhadap nasib guru di negeri ini. Intinya semua adegan benar-benar bagus dan bermakna. Inilah kisah asli Andrea Hirata dalam bingkai tak pernah basi.

Harapan saya cukup satu: semoga ada produser yang mau mengangkat LP ke layar kaca. Tentunya dengan pemain yang sama tapi berdurasi lebih panjang. Buat sampai 30 episode atau lebih lah. Biar karya Kak Ata ikut menyemarakkan ruang keluarga yang selama ini disesaki sinetron murahan dengan judul sama seperti nama tokoh utama: Khanza, Carissa, Mawar, Intan, Cinta, Lara, Wati, Sari, Ningsih, Puspa, Dewi, Anggraini,…capek deh. (Hidayat Arifin, thanks 4 Sasono atas laptopnya)

0 comments: