CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Minggu, 12 April 2009

Dari Tangkuban Parahu ke Jalan Lain ke Ciateur



Rasanya sisa rasa pegal masih terasa meski sudah seminggu berlalu dari kenangan yang takkan bisa dilupakan. Hari ini tanggal 10 April 2009. Aku masih betah ngetik di komputer Rahmat, teman satu asrama, untuk menuntaskan artikel ini. Sebentar lagi jam menunjukkan pukul 00.00 WIB, yang artinya sebentar lagi kita bergerak ke hari Sabtu tanggal 11 April 2009. Seminggu yang lalu tepat di hari yang sama, 45 dari 60 Mahasiswa ATPK Angkatan 18 mengadakan tur bareng yang sangat melelahkan. 

Adalah Iyep, sang komandan tingkat (komti) angkatan 18 yang punya ide cemerlang untuk jalan-jalan ke Tangkuban Parahu. “Kita naik angkot sampai Lembang seterusnya kita jalan kaki sampai ke Tangkuban Parahu,” begitulah kira-kira aba-aba sang ‘kepala suku’ saat musyawarah berlangsung di asrama. Di tengah-tengah diskusi ada yang bertanya berapa jarak perjalanan yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. “Kira-kira 10 kilometer,” ujar sang ‘kunci Tangkuban Parahu’, Adjie Parisal dengan ringan. Tapi jarak segitu tak terlalu jauh apalagi kalau dijalani bersama teman-teman hampir satu kelas. Begitulah yang terlintas di otak kecilku.

Setelah berembuk dengan matang dan mempersiapkan semuanya, tibalah keesokan harinya, hari di mana tak akan pernah kusesali pernah dijalani. Semua siap. Angkot yang digunakan untuk membawa kami sampai ke Lembang juga telah tiba pagi hari tanggal 4 April. Anak-anak sudah berpakaian keren dan mengeluarkan busana pamungkasnya. Tak tanggung-tanggung Ninda dan Sasono mengeluarkan koleksi ponsel kamera terbaru mereka hari itu juga. Berharap setiap momen bisa diabadikan dan setiap tempat dijepret. Sebelum angkot tancap gas, kita berfoto terlebih dahulu. Tentunya dengan gaya narsis dan sok cakep. 

Angkot merayap menyusuri Kota Bandung. Kurang lebih 2 jam tiba di Lembang. Kita turun dan mulai melakukan hiking. Kukira kita akan travelling di tanah datar. Ternyata kita naik gunung yang sangat melelahkan dan menguras energi. Tak hanya lelah mendaki, tapi juga pakaian kotor semua, terutama sepatu. Kalau tahu begini, kenapa tidak katakan dari awal bahwa kita akan naik gunung dan pergunakanlah alas kaki yang tidak ribet. Duh, aku merutuk dalam hati. Jarak tempuh pun tak bisa dibilang dekat. Adjie bilang sih cuma 10 kilometer, tapi tak dinyana dua kali lipat dari itu. Duh, aku makin lelah. 

Tapi, meskipun kelelahan dan berjalan tertatih-tatih, kita sangat ceria dan menikmati kelelahan itu sendiri. Sasono adalah salah satu korban yang dikejar-kejar agar mau mengambil foto kita saat hiking. “Son, ayo Son lima mega keluarin. Foto kita nih,” teriak Yuda pada Sasono meminta difoto dengan kamera ponsel beresolusi lima mega piksel. Dasar narsis. Semuanya masih sempat minta foto di tengah-tengah otot pegal menyergap seluruh tubuh. 

Akhirnya kita sampai juga di Tangkuban Parahu. Melihat kawah yang sangat menakjubkan, membeli cindera mata, berfoto dan makan bareng. Hati kecilku bicara, walaupun capek, rasanya setimpal dengan harga kebersamaan dengan teman-teman yang harus dibayar. Aku jadi terharu. Selesai keliling, makan dan sholat kita melanjutkan perjalanan ke Ciateur, tempat wisata air panas di perbatasan Bandung-Subang. Sebenarnya masih lelah, tapi karena diburu waktu kita langsung bergerak. Sekarang giliran kita menuruni sekat-sekat tanah bebatuan. Cuma sebentar, setelah itu kita mampir ke Kawah Domas untuk merendam kaki dan istirahat sejenak. Perjalanan masih lama untuk mencapai Ciateur. Medan yang dilalui pun tak bisa dibilang mudah. Meski tidak naik-turun gunung, kita melewati perkebunan warga. Beruntungnya setelah itu kita melewati kebun teh yang sangat cantik dan menakjubkan. “I’ve never been here before,” Peji berteriak histeris. Sayangnya, tiba-tiba hujan langsung mengguyur dengan deras. 

Sempat terpikir mau berlindung, tapi ke mana? Di kebun teh tidak ada tempat berlindung. Teruskan perjalanan dan nikmati hujan yang mengguyur. Toh hujan tak akan membuat kita mati. Ternyata memang benar. Saking menikmati hujan kita semua pernah terpleset. Anis “Sang Penari Perut” tercatat jatuh dua kali, Agung mengaku jatuh lima kali di kebun teh. Ditambah dengan semua pakaian basah, menjadikan perjalanan ini ‘lebih punya taste dan unforgettable’. 
Pepatah “banyak jalan menuju Roma” ternyata benar adanya. Kita menggunakan jalan hemat nan jauh. Dan akhirnya kita sampai juga di Ciateur meski dengan kemasan sangat memprihatinkan: basah kuyup, kotor dan kelaparan. Kita malu takut dikira dari hutan. Padahal kan kita pengembara sejati dari Bandung yang menempuh dua kabupaten (Bandung Barat dan Subang) hanya dengan sebatang kaki. Salut dengan anak-anak angkatan 18 yang kompak dan semangat. Melihat kolam air panas kita sangat bahagia laksana musafir yang menjumpai oase di tengah gurun yang gersang. Maklum, kita ingin sekali membersihkan badan yang kotor agar kelihatan seperti manusia lagi.
 
Mandi di kolam air panas sangat nikmat. Otot yang kaku kembali segar. Pikiran pun tak seperti benang kusut masai lagi. Agak disayangkan momen di Ciateur tidak banyak yang terabadikan karena hampir semua ponsel kamera low batt. Namun, itu tak mengurangi kebahagiaan kita. Mandi sepuas-puasnya sampai menjelang Maghrib. Setelah selesai sholat dan makan panganan di sekitar Ciateur, rombongan “manusia super” pulang juga. Capek sekali rasanya. Tapi begitu banyak kenangan yang didapat. Kita belajar caranya berusaha keras mencapai tujuan, belajar untuk pantang menyerah dan mendekatkan hubungan emosional dengan sesama teman. Lebih dari itu, kita jadi makin sadar bahwa angkatan 18 memang kompak, kreatif dan gila foto. Inilah kenangan yang tak akan kulupakan. Kenangan yang bakal tercatat sebagai kenangan paling menakjubkan sepanjang sejarah hidupku sebelum digantikan oleh kenangan yang lebih gila lagi. 

(Artikel ini berjenis pengambaran bercerita (featured naratif) dengan sudut pandang orang pertama tunggal serta menggunakan alur mundur / flashback dan alur kini.)